Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ----Selamat datang di Blog resmi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Masohi.,

Rabu, 12 Oktober 2011

Martabat Hakim Dihina, KY Akan Bertindak



www.hukumonline.com, Selasa, 11 October 2011
Ironisnya, MA sering menilai KY sendiri yang telah merendahkan martabat hakim atau pengadilan.



Rapat Paripurna DPR dan Pemerintah telah menyetujui revisi UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY). Pengesahan tinggal menunggu tanda tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sekalipun, presiden tak menandatangani, toh dalam tiga puluh hari –berdasarkan UUD 1945- RUU itu akan tetap otomatis menjadi undang-undang.

Ketua Panja RUU KY Tjatur Sapto Edy mengatakan ada beberapa kewenangan dan tugas tambahan yang dimiliki KY berdasarkan RUU ini. Salah satunya, adalah tugas bagi KY untuk mengambil langkah hukum terhadap orang atau kelompok yang telah merendahkan martabat hakim. “Tugas ini sebelumnya tak ada di UU KY sebelumnya,” ujar Tjatur di ruang rapat paripurna DPR, Selasa (11/10).


Ketentuan ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e RUU KY. Bunyinya adalah Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas: mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

Perwakilan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Abdul Ghani Abdullah menyambut baik tugas baru yang dimiliki KY ini. Pria yang juga menjabat hakim agung ini mengatakan hakim atau pengadilan tak perlu lagi bertindak sendirian bila ada orang atau kelompok yang merendahkan martabat hakim. “KY yang sekarang mempunyai kewajiban untuk itu (bertindak,-red),” ujarnya.

Ada beberapa upaya hukum yang bisa dilakukan oleh KY untuk melindungi martabat dan keluhuran hakim agar tidak direndahkan. Diantaranya adalah melalui jalur pidana. “KY harus melaporkan ke polisi bila ada yang menghina pengadilan. Kalau ada yang merusak martabat (hakim), KY harus bertanggung jawab. Bukan hanya di luar, tapi di dalam pengadilan,” jelas Abdul Ghani.

Ironisnya, berdasarkan catatan hukumonline, MA justru kerap menilai KY sendiri yang merendahkan martabat hakim. Ketua MA Harifin A Tumpa, dalam Rakernas MA 2011, mengatakan KY dengan sering berkedok fungsi pengawasan untuk menjaga harkat dan martabat hakim, justru malah merendahkan atau menuruhkan harkat dan martabat hakim. “Laporan-laporan masyarakat diekspos sedemikian rupa agar dapat membentuk opini bahwa korps hakim benar-benar bobrok,” kata Harifin.

Salah satu contohnya adalah tudingan yang dilontarkan KY bahwa penerimaan calon hakim 2010 ilegal karena tidak melibatkan KY. Kasus lainnya, saat salah satu Komisioner KY Suparman Marzuki menyebut adanya tarif untuk menjadi calon hakim yang dibandrol Rp300 juta dan untuk menjadiketua pengadilan di Jakarta sebesar Rp275 juta.

Tak terima dengan tudingan ini, MA malah sempat melaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun, akhirnya, laporan dicabut oleh MA karena Suparman akhirnya meminta maaf.

Abdul Ghani bukan tak tahu cerita ini. “Itu kan tindak pidana umum. Ini  beda hal. Yang penting kan (laporan) sudah dicabut,” ujarnya.

Cerita ‘perseteruan’ MA dan KY itu memang kisah masa lalu, sebelum revisi UU KY yang baru ini disetujui. Karenanya, Tjatur berharap dengan disetujui dan disahkannya RUU KY ini, kebekuan dan kebuntuan dua lembaga negara itu segera berakhir. “Mereka punya agenda bersama, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam siaran pers, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendesak agar pengesahan RUU KY ditunda karena masih memuat beberapa materi yang bermasalah. Salah satunya materi itu adalah pemberian kewenangan kepada KY untuk mengambil langkah hukum terhadap orang/badan hukum yang merendahkan martabat dan kehormatan hakim. Kewenangan ini, menurut KPP, berpotensi menimbulkan ancaman bagi pihak-pihak yang sering melakukan kritik-kritik terhadap lembaga peradilan/personal hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar