Andi Saputra - detikNews
Sumber :
JAKARTA- Sorotan terhadap pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) terus bergulir seiring banyaknya putusan bebas-lepas bagi para terdakwa korupsi. Beberapa mencibir hakim tidak profesional. Benarkah?
"Pengadilan hanya muara dari suatu proses hukum. Sebelum pengadilan, ada proses penyelidikan dan penyidikan oleh polisi-jaksa," kata ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir saat berbincang dengan detikcom, Senin, (7/11/2011).
Menurut Mudzakir, banyaknya terdakwa korupsi yang diputus bebas karena dakwaan jaksa lemah. Jaksa mencampuradukan antara hukum pidana dengan hukum adsministrasi. Dia mencontohkan laporan BPK yang mempunyai rekomendasi kesalahan administrasi dan dapat diselesaikan secara administrasi saja.
"Tapi oleh jaksa tetap dibawa ke pengadilan dan didakwa dengan pidana korupsi," beber Mudzakir.
Ada juga perbuatan korupsi terjadi di tingkat pejabat teknis seperti Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala Dinas atau Dirjen. Tetapi oleh penyidik ditarik ke pembuat kebijakan yaitu Bupati, Gubernur atau Menteri. "Ini kan mencampuradukan hukum administrasi dengan hukum pidana," terang Mudzakir.
Guna menyikapi penyalahgunaan hukum tersebut, maka tugas hakim untuk menjaga keadilan. Meski hakim dalam keadaan dilematis yaitu apabila terdakwa diputus bebas maka langsung dinilai keputusannya tidak berpihak kepada masyarakat.
"Ini kurang fair. Ini bencana dalam praktik hukum pidana kita," cetus Mudzakir.
Hal ini diperkeruh dengan pernyataan-pernyataan LSM yang melihat permasalahan korupsi dalam kacamata interpelasi politis. Bukan melihat dalam instrumen hukum pidana. Alhasil, konstruksi hukum menjadi terbolak-balik.
"Tapi bagaimana lagi, saat ini panggungnya mereka. Jadi banyak ahli pidana yang memilih diam," tuntas Mudzakir.
(asp/rdf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar