TELAAH ATAS AMAR PUTUSAN
TENTANG PENYAMPAIAN SALINAN PUTUSAN
KEPADA PPN *)
Oleh : Amran Abbas
Hakim Pengadilan Agama Masohi
A. Dasar Hukum;Hakim Pengadilan Agama Masohi
1. Pasal 84 ayat (1), (2), (3) dan pasal 85 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jis. UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.
2. Pasal 35 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. SEMA No. 28/TUADA-AG/X/2002
4. Jurisprudensi No. 157/K/Ag/2001 tanggal 17 Januari 2003
5. Hasil Rakernas 2009 di Kalimantan
B. Bunyi Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan;
Menimbang, bahwa untuk memenuhi maksud pasal 84
ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo.
pasal 35 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka Majelis
Hakim secara ex officio dapat memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama
Masohi untuk mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Pegawai Pencatat Nikah tempat dilangsungkannya perkawinan penggugat dan
tergugat yakni KUA Kecamatan Banda Neira Kabupaten Maluku Tengah dan tempat
kediaman penggugat dan tergugat yakni KUA Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram
Bagian Barat agar dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;
C. Bunyi Amar Putusannya;
Model I :
Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama
Masohi untuk mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Pegawai Pencatat Nikah tempat dilangsungkannya perkawinan dan tempat
kediaman penggugat dan tergugat untuk dicatat dalam daftar yang disediakan
untuk itu;
Model II
Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama
Masohi untuk mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Banda Neira Kabupaten Maluku Tengah
dan KUA Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat untuk dicatat dalam
daftar yang disediakan untuk itu;
D. Ragam Perintah UU kepada Panitera Pengadilan berkaitan dengan
Putusan;1. Membuat Salinan Putusan / Salinan Penetapan.
- Pasal 100 UU No. 7 Tahun 1989 :
”Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan Pengadilan menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
2. Mengirimkan Salinan Putusan kepada PPN.
- Pasal 35 ayat (1) dan (2) PP No. 9 Tahun 1975 :
(1)
Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 34
ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan,
tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi, dan
Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang
diperuntukkan untuk itu”.
(2)
Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum
Pegawai Pencatat di mana perkawinan dilangsungkan maka satu helai salinan
putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah
dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian
pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan
di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.
- Pasal 84 UU No. 7
Tahun 1989 :
(1)
Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan
tergugat untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang
disediakan untuk itu.
(2)
Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada
bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3)
Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada
Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
- Memberikan Salinan Putusan kepada Para Pihak.
- Memberikan Akta Cerai kepada para pihak.
(4) Panitera berkewajiban memberikan
akta cerai sebagai surat
bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung
setelah putusan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak. E. Telaah atas Amar Putusan tentang Penyampaian Salput/Salpen kepada PPN.
Sedikitnya ada 4 perintah UU kepada Panitera
Pengadilan berkaitan dengan telah berkekuatan hukum tetapnya suatu Putusan yang
kesemuanya memiliki konsekwensi hukum bila tidak dilaksanakan, terlebih jika
berimbas pada kerugian bagi bekas isteri atau bekas suami atas kelalaian tugas dimaksud
(lihat pasal 35 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975). Keempat perintah UU dimaksud
adalah membuat salput/salpen, mengirimkan salput/salpen kepada PPN, memberikan
salput/salpen kepada para pihak dan memberikan akta cerai kepada para pihak
(lihat point D. di atas).
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa PP No. 9
Tahun 1975 yang menjadi legal basis bagi perintah kepada Panitera dimaksud
mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, yang berarti bahwa semua
perintah peraturan perundang-undangan yang termaktub di dalamnya termasuk
kewajiban Panitera mengirimkan salput/salpen kepada PPN juga sudah seharusnya
dijalankan secara tertib dan lancar.
Kurang lebih 14 tahun kemudian kewajiban Panitera
Pengadilan untuk mengirimkan salput/salpen ini disebutkan kembali dalam UU No.
7 Tahun 1989 pasal 84, yang dapat memberi kesan kepada kita betapa pentingnya
tugas dan kewajiban ini sehingga perlu dinaikkan kualifikasinya dari PP kepada
UU, atau dengan kata lain, mengalami suatu gradasi. Yang kemudian patut
dipertanyakan adalah, masih perlukah kewajiban Panitera itu dicantumkan di
dalam amar putusan (khususnya untuk perkara perceraian) ??
Gradasi atas perintah penyampaian salput/salpen
kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) ini, menurut hemat saya, sudah cukup untuk
mengingatkan Panitera Pengadilan akan kewajiban yang harus ditunaikan setelah
sebuah Putusan berkekuatan hukum tetap, tanpa perlu dicantumkan ke dalam amar
putusan. Cukuplah pengawasan atas pelaksanaan kewajiban Panitera ini diperketat
sedemikian rupa sehingga perintah-perintah UU ini dapat dilaksanakan dengan
baik.
Bayangkan bila keempat kewajiban Panitera
sebagaimana tersebut dalam PP dan UU itu dijadikan amar putusan, maka sudah
tentu produk hukum yang dihasilkan oleh Pengadilan menjadi lucu dan janggal.
Namun jika kita hanya mengkhususkan pada satu kewajiban saja untuk dicantumkan
ke dalam amar, lalu apa bedanya dengan 3 kewajiban Panitera lainnya yang harus
mendapat perhatian dengan porsi yang sama besarnya.
Dalam pertimbangan hukum tentang perintah
penyampaian salput/salpen ini, semua Majelis menggunakan (maaf) kata sakti
yaitu ex officio, yang artinya karena jabatan. Pertanyaannya adalah, benarkah
PP dan UU dimaksud memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim yang karena
jabatannya memerintah Panitera Pengadilan untuk menyampaikan salput/salpen
kepada PPN ?? Untuk menjawab hal itu tentu bukan dilihat dari hierarki
kepemimpinan tapi alangkah baiknya kita kembali menelaah kalimat per kalimat
yang tertuang dalam pasal 35 ayat (1) dan (2) PP No. 9 Tahun 1975 P dan pasal
84 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 7 Tahun 1989 dimaksud.
Di dalam kelima ayat dimaksud sulit untuk kita
temukan pengertian bahwa PP dan UU tersebut memerintah Panitera Pengadilan
melalui Majelis, atau memerintah Majelis untuk disampaikan kepada Panitera
Pengadilan, atau memintah Majelis memerintah Panitera Pengadilan guna melakukan
sesuatu. Bandingkan dengan bunyi pasal 87 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang
menyebut secara tegas ”......maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh
pemohon atau penggugat untuk bersumpah”, atau dengan menggunakan kalimat lain
yang serupa sebagaimana tertuang dalam pasal 41 c. UU No. 1/74 tentang
perkawinan : ”Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri”.
Oleh karenanya dapat saya nyatakan bahwa
penyebutan kata ex officio dalam konteks ini (sebagaimana sering disebut dalam
pertimbangan hukum) adalah perbuatan yang tidak perlu, berlebihan dan sia-sia
karena selain tidak disebut secara tegas oleh peraturan perundangan-undangan
juga setiap Panitera sudah harus melaksanakan kewajiban yang tersebut dalam PP
dan UU itu tanpa perlu adanya perintah Majelis melalui sebuah produk
persidangan atau Putusan.
Hakikatnya, penyebutan kata ex officio yang
dilekatkan kepada Majelis Hakim lebih membawahi sebuah pengertian bahwa Hakim
diberi keluasan untuk berijtihad dan melakukan penemuan hukum berdasarkan
realita, ilmu pengetahuan, nurani dan rasa keadilan. Kata ex officio dilekatkan
kepada Hakim bukan untuk meng-copypaste bunyi peraturan
perundang-undangan untuk kemudian dituangkan ke dalam amar putusan.
Dari sisi hukum acara, penyebutan amar putusan
tentang perintah kepada Panitera inipun tidak tepat dan melanggar azas ultra
petitum partium dimana Hakim yang mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau
melebihi tuntutan dianggap melakukan ultra vires atau bertindak melampaui
kewenangan. Sedangkan kita paham bahwa jika putusan melanggar azas ultra
petitum ini maka harus dinyatakan invalid, ilegal dan melanggar prinsip rule of
the law meskipun hal itu dilakukan hakim dengan ittikad baik. Memang ada
pengecualian dalam penerapan azas ini namun harus masih sesuai dengan inti
petitum primair, sesuai dengan kejadian materiil, dan itupun penerapannya
sangat kasuistik.
Amar putusanpun sejogjanya harus berkaitan erat
dengan kepentingan langsung para pihak yang bersengketa dan pernah dibahas di
dalam persidangan Majelis Hakim, bukan sesuatu yang tiba-tiba dimunculkan di
dalam pertimbangan hukum dan di amar putusan, itupun dengan menyebutkan
sekaligus mengikat pihak yang tidak ada hubungan apapun dengan pihak yang
bersengketa yaitu Panitera Pengadilan. Sekali lagi, toh tanpa dituangkan ke
dalam amar putusan, Panitera Pengadilan wajib melaksanakan tugas dimaksud
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh tugas seorang Panitera
Pengadilan.
F. Konklusi
1. Seharusnya tidak perlu ada
amar putusan tentang perintah kepada Panitera Pengadilan untuk menyampaikan
salinan putusan kepada Pegawai Pencatat Nikah;
2. Untuk mengawasi pelaksanaan tugas penyampaian
salinan putusan oleh Panitera kepada PPN ini, diberikan kepada Hakim Pengawas
Bidang Administrasi Persidangan / Perkara yang secara rutin melaporkan secara
tertulis melalui laporan HAWASBID;
3. Salinan putusan yang dikirim kepada PPN
sebaiknya berupa petikan saja, tidak perlu mengirim seluruh helai putusan. Hal
ini kiranya selain untuk efisiensi juga tidak bertentangan dengan maksud pasal
84 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 7 Tahun 1989 yang selalu menyebut ”satu helai
salinan putusan”.
Wallahu a’lam.Alhaqqu min rabbika fala taku-nanna minal mumtari-n.
*) Makalah ini dipresentasikan dalam Diskusi Yustisial Hakim Pengadilan Agama Masohi
pada hari Kamis, tanggal 21 Juli 2011;
Sumber :
http://e-syariah.badilag.net/index.php/opini/208-telaah-amar-ttg-penyampaian-salput.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar