Salah satu produk Mahkamah Konstitusi
yang hadir guna memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat saat ini
adalah Putusan Nomor: 046/PUU.VIII/2010 Tentang Revisi Pasal 43 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Substansi
perubahan dalam pasal 43 UUP adalah bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan disamping mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya sebagaimana yang selama ini tercantum dalam pasal tersebut, anak
yang dilahirkan diluar perkawinan juga mempunyai hubungan perdata dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.
Putusan tersebut secara langsung
berhubungan dengan kompetensi dari pengadilan agama sebagai lembaga yang
berwenang menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut hubungan
keperdataan bagi masyarakat yang beragama islam. Manindaklanjuti Surat
Dirjen Badilag MA.RI Nomor: 0289/DjA/HM.00/II/2012 Tentang Pemberdayaan
Hakim Tinggi, maka KPTA Ambon mengharuskan agar setiap hakim PA di
wilayah Yurisdiksi PTA Ambon dapat melakukan kajian terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi dan hasilnya akan dilaporkan ke PTA Ambon paling
lambat satu bulan.
PA Masohi sebagai salah satu Pengadilan
Agama yang berada di wilayah yurisdiksi PTA Ambon juga melakukan kajian
hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Metode yang
digunakan oleh KPA Masohi Drs. Mursidin, MH adalah kajian dalam bentuk
penulisan makalah oleh KPA Masohi dan akan disempurnakan oleh ketiga
orang hakim lainnya yakni Amran Abbas, S.Ag, Ibrahim Ahmad Harun, S.Ag,
dan Syarifa Saimima, SHI setelah sebelumnya dilakukan diskusi justisial.
Senin kemarin (12/03), diskusi sekaligus kajian hukum terhadap putusan
MK dilaksanakan diruang hakim, dengan KPA Masohi sebagai nara sumber.
Diskusi berlangsung sekitar tiga jam
dengan pokok bahasan antara lain : Substansi perubahan pasal 43
Undang-Undang Perkawinan dan ruang lingkupnya, Akibat hukum dari
perubahan tersebut, Alat bukti yang diperlukan untuk menetapkan asal
usul anak, Apakah perubahan tersebut dapat berlaku surut bagi anak yang
dilahirkan sebelum putusan MK tersebut, Hukum acara yang berlaku bagi
pemeriksaan perkara tersebut dan lain-lain yang ditemukan dalam diskusi.
Yang menarik dari diskusi ini adalah
penemuan bahwa putusan MK tersebut masih bias karena dapat menimbulkan
interprestasi yang luas sehingga menimbulkan pertanyaan “apakah putusan
tersebut berlaku juga bagi anak diluar nikah dalam artian anak hasil
Zina?” ungkap Syarifa Saimima, SHI. Bila dilihat dari pembahasan
poin-poin diatas tergambar jelas bahwa yang diakui dalam putusan bukan
hanya anak dari nikah sirri saja tapi anak-anak dari hasil perzinahan
yang tidak dinikahipun diakui hak-hak keperdataannya dengan ayah
biologis dan keluarga ayahnya sepanjang bisa dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain berdasarkan hukum.
Sedangkan alasan MK mengabulkan gugatan pada perkara Nomor
46/PUU.VIII/2010 adalah pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan karena bertentangan dengan pasal 28 B ayat 1 dan 2 dan pasal
28 D ayat 1 UUD 1945, maka menurut kami putusan MK tersebut hanya
terbatas pada anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang tidak tercatat
namun sah secara agama berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun
1974, sehingga anak yang dilahirkan dari hubungan zina tanpa pernikahan
tidak termasuk dalam maksud putusan MK tersebut, tandas beliau.
Kajian hukum seperti ini bertujuan untuk
memperluas wawasan hakim sekaligus mempertajam analisis para hakim
terhadap isu-isu terkini yang berkaitan dengan kompetensi pengadilan
agama, seperti implikasi hukum yang timbul dari putusan MK tersebut,
tutur KPA Masohi diakhir diskusi. (Rosita Pelu/Tim TI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar