www.hukumonline.com, Senin, 26 September 2011
Larangan menemui hakim agung dianggap menutup akses rakyat pencari keadilan.
MA diminta merevisi aturan larangan hakim agung bertemu pihak berperkara. Foto: Sgp |
Upaya Mahkamah Agung (MA) untuk meminimalkan pertemuan antara hakim agung dengan pihak yang berperkara terus digalakkan. Pengawasan hingga sekedar papan pengumuman yang bersifat menganjurkan sekaligus melarang
para hakim agung untuk menemui pihak berperkara masih terpampang.
Tujuannya, tentu agar hakim agung dapat netral dalam memutus perkara
yang ditanganinya.
Namun, tak semua orang setuju dengan larangan ini. Salah satunya adalah Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir. Politisi Partai Golkar ini secara tegas menolak larangan ini kepada Panitera Muda Bidang Perdata Khusus MA Rahmi Mulyati yang sedang menjalani fit and proper test calon hakim agung di ruang rapat Komisi III DPR.
Namun, tak semua orang setuju dengan larangan ini. Salah satunya adalah Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir. Politisi Partai Golkar ini secara tegas menolak larangan ini kepada Panitera Muda Bidang Perdata Khusus MA Rahmi Mulyati yang sedang menjalani fit and proper test calon hakim agung di ruang rapat Komisi III DPR.
“Saya
tak setuju, rakyat para pencari keadilan tidak bisa menghadap. Rakyat
kecil yang kakinya kotor karena becek dilarang masuk oleh satpam.
Padahal, mereka hanya mau curhat karena tanahnya digusur. Saya juga
pernah mengalami ini, dilarang bertemu dengan hakim,” ujar Nudirman,
Senin (26/9).
Sedangkan, lanjutnya, orang yang berduit bisa bertemu dengan seenaknya. Ia menuding adanya praktik pertemuan pihak berperkara yang berduit dengan hakim agung di luar negeri. “Mereka bertemu di Hong Kong. Ongkos hakim dibayarin. Kalau sama rakyat sendiri mereka tak mau bertemu,” tuding Nudirman tanpa mau menyebut pihak mana yang dimaksud.
Rahmi
menjelaskan pembatasan tamu (para pihak berperkara) di Gedung MA
bertujuan untuk menghindari calo perkara. Ia menuturkan bila ada pihak
yang ingin sekedar mengetahui posisi perkaranya sudah sampai mana, dia cukup ke meja informasi yang sudah terbuka di MA. Para pihak juga bisa langsung mengetahui posisi perkaranya melalui jaringan internet.
“Bila ada masukan juga bisa dikirim melalui internet. Ini
bentuk MA untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Mencegah markus
(makelar kasus) atau calo-calo perkara. Ini hanya salah satu upaya,”
ujarnya.
Nudirman keukeuh mengusulkan agar aturan itu direvisi. Menurutnya, kecurigaan terhadap adanya markus atau calo perkara bisa disiasati dengan memasang CCTV (Closed Circuit Television) di ruang para hakim agung itu. “Kan bisa diawasi dengan CCTV. Jangan dikebiri dong hak rakyat. Mereka harus berdemonstrasi di luar gedung untuk menyampaikan uneg-unegnya,” tuturnya.
Rahmi
kembali menegaskan bahwa pihak MA –termasuk dirinya- sering menerima
perwakilan demonstran yang berada di luar Gedung MA. Ia memastikan bahwa
aspirasi mereka disampaikan ke para hakim agung yang menangani perkara
bersangkutan. “Sampaikan uneg-uneg kan juga tak perlu datang langsung. Bisa melalui surat,” ujarnya.
Nudirman sekali lagi menegaskan sikapnya. “Saya tak setuju pihak-pihak dilarang bertemu hakim agung. Mereka kan hanya sekedar ingin curhat,” ujarnya.
Berdasarkan catatan hukumonline,
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang disusun oleh MA dan KY
mengatur secara umum sikap hakim terhadap pihak yang berperkara. Salah
satu isinya, “Hakim
harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara,
sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan”.
Terbuka untuk Umum
Rahmi
memang tetap mendukung larangan pihak berperkara bertemu dengan hakim
agung. Namun, bila kelak terpilih sebagai hakim agung, Rahmi berharap
ada reformasi di MA terutama terkait dengan “sidang terbuka untuk umum”. Selama ini,
sidang kasasi dan peninjauan kembali di MA, memang tak dihadiri oleh
para pihak, kecuali dalam kasus tertentu yang menyita perhatian
masyarakat seperti kasus Akbar Tanjung pada 2004 silam.
Lebih lanjut, Rahmi mendengar keluhan para pihak bahwa meski sidang terbuka untuk umum, tetapi mereka tak pernah tahu kapan jadwal sidang perkaranya digelar. “Selama ini makna sidang terbuka untuk umum, ya ketika para hakim bersidang, pintu ruang itu dibuka saja,” ujarnya.
Para
pihak tak pernah hadir karena tak tahu jadwal sidang. Apalagi, para
hakim bisa menyidang perkara-perkara sekaligus dalam jumlah yang banyak.
“Bisa sekali sidang 50 perkara,” ungkap mantan asisten Ketua MA Bagir
Manan ini. Para hakim pun bersidang hanya di ruang-ruang yang disediakan
untuk para hakim.
Keterbatasan
ruang sidang ini yang menjadi persoalan bila ingin menerapkan ‘sidang
terbuka untuk umum’ yang benar-benar dihadiri oleh para pihak
berperkara. “Kita butuh ruang sidang khusus. Contohnya, dalam kasus
pilkada dulu, kita bersidang di tempat lain (Ruang sidang pengadilan
Tipikor), bukan di Gedung MA. Ini dibutuhkan ruangan dan banyak tenaga
lagi,” ujar Rahmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar