Komisi III akan merespon dengan revisi UU MA, dimana DPR bisa menarik kembali hakim agung yang telah dipilih bila bermasalah.
KAI minta DPR copot ketua MA Harifin A Tumpa. Foto: SGP
http://hukumonline.com 13 September 2011
Pimpinan Kongres Advokat Indonesia (KAI) mengadukan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa
ke Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka meminta agar Komisi
III mengambil langkah-langkah politik yang bisa mencopot Harifin dari
jabatannya sebagai Ketua MA. Harifin dinilai telah melakukan beberapa
pelanggaran hukum.
“Apakah
DPR bisa melakukan terobosan-terobosan politik, misalnya dengan
mencopot Harifin A Tumpa dari jabatannya sebagai Ketua MA,” ujar Eggi
dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III di Gedung DPR,
Selasa (13/9).
Presiden KAI, yang juga menjadi kuasa hukum Eggi, Indra Sahnun Lubis menyadari hak untuk memakzulkan Ketua MA berada di tangan para hakim agung. Namun, ia
menyayangkan sikap para hakim agung yang melakukan pembiaran terhadap
sikap Ketua MA yang dinilainya melanggar aturan hukum. “Pembiaran ini
membuat kacaunya sistem hukum kita, rusaknya penegakan hukum,” ujarnya.
Karenanya,
Indra menjelaskan terobosan politik yang perlu dilakukan oleh DPR
adalah bukan langsung mencopot Ketua MA, melainkan mengusulkan kepada
presiden supaya mengganti Ketua MA. “Kita harus berani revolusi, kalau
tidak, tidak akan ada perbaikan,” tegasnya lagi.
Sebagai
informasi, pimpinan KAI mengadukan Harifin ke DPR terkait tiga hal.
Pertama, seputar surat Ketua MA menngenai pengambilan sumpah advokat
melalui Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Kedua, surat Ketua MA
yang hanya mengakui Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi
advokat. Ketiga, putusan PK yang memvonis bersalah Eggi dalam kasus
penghinaan presiden.
Dua
isu pertama yang diangkat oleh pimpinan KAI ini berkaitan dengan
konflik wadah tunggal advokat antara Peradi dan KAI. Ketua MA Harifin
Tumpa telah menetapkan Peradi sebagai wadah tunggal advokat setelah
penandatanganan piagam kesepakatan antara Ketua Umum DPN Peradi Otto
Hasibuan dan Presiden KAI Indra Sahnun. Namun, dalam perkembangannya,
Indra menolak piagam itu.
Sementara,
isu yang terakhir, seputar kasus penghinaan presiden yang dilakukan
oleh Eggi. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan pasal
penghinaan presiden itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena
bertentangan dengan konstitusi. Uniknya, Majelis Peninjauan Kembali (PK)
di MA justru menghukum Eggi bersalah selama tiga bulan masa percobaan menggunakan pasal yang telah dibatalkan itu.
Anggota
Komisi III dari PPP yang memimpin RDPU Ahmad Yani mengaku bisa memahami
permintaan pimpinan KAI itu. Namun, ia menyadari permintaan itu sulit
dikabulkan Komisi III mengingat tidak ada landasan dalam undang-undang.
Meski begitu, secara konsep, ia setuju bila DPR bisa ‘menarik kembali’
hakim agung yang dipilihnya.
“Itu sudah kami bicarakan dari kemarin. Pasal-pasal itu yang akan kita rumuskan
dalam revisi UU MA, bukan hanya hakim agung, pimpinan KY dan pimpinan
KPK yang telah kami pilih juga seharusnya bisa ditarik kembali. Kami
juga akan revisi UU KY dan revisi UU KPK,” ujarnya.
Selama
ini, lanjut Yani, DPR seakan tidak mau tahu terhadap hakim agung,
komisioner KY, dan komisioner KPK yang telah dipilih. “Kami hanya
memilih, diangkat, lalu selesai, tidak mau tahu. Karena kami yang
memilih, masa’ kita tak berhak menarik lagi,” ujarnya.
Lalu,
apakah MA, KPK, dan KY tidak akan tersandera oleh DPR? Yani yakin
masyarakat akan menilai dan mengawasi tindakan DPR ini. “Sekarang siapa
lagi (yang mengawasi hakim agung, KY dan KPK, red)? Makanya diatur mekanismenya,
supaya tak ada subjektifitas. Mekanismenya harus jelas, misalnya harus
ada bukti hukum yang kuat dan sebagainya,” pungkas pria yang pernah menjabat sebagai Vice President KAI ini.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris MA Rum Nessa mempersilakan
bila KAI ingin mempersoalkan kebijakan dan putusan Ketua MA itu. Namun,
ia menegaskan tidak ada satu pun aturan undang-undang yang dilanggar.
“Tidak melanggar. Silakan saja mau menggugat kemana, silakan saja,”
ujarnya.
Mekanisme pemberhentian Ketua MA diatur dalam UU Mahkamah Agung
yang terakhir diubah dengan No 3 Tahun 2009. Salah satunya diatur dalam
Pasal 11 UU Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa Ketua MA diberhentikan
dengan hormat oleh presiden atas usul MA.
Ketua MA diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia,
telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun, atas permintaan sendiri secara
tertulis, sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter,
atau ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu,
Ketua MA juga dapat diberhentikan dengan tidak hormat jika dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap, melakukan perbuatan tercela, melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3
(tiga) bulan, melanggar sumpah atau janji jabatan, melanggar larangan
rangkap jabatan, atau melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku
hakim. Demikian diatur dalam Pasal 11A UU Mahkamah Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar